Aku menatap wajah Widia yang sudah tak berdaya. Lemah, tubuhnya bersimbah darah. Aku merasa gugub, ketakutan. Begitu banyak darah nya.
"Ayah ... ayo bawa dia ke rumah sakit," ucapku sambil menatap suamiku.
"Suruh supir saja," ucap suamiku ketus.
"Ayah ... Ini masalah nyawa, buruan Yah!" Aku mendesak suamiku yang masih berdiri santai di depan pintu kamar.
"Bunda, kenapa masih sibuk mengurus dia!"
"Tolong, Ayah! Bunda khawatir dengan janin Widia, bagaimana kalau bayi itu kenapa-kenapa?"
"Ya, bukan urusan kita!"
Aku kesal, kemudian mencoba membangunkan Widia. Berat sekali kalau kucoba gendong. Sejahat-jahatnya aku, aku tidak ingin melukai bayi yang ada dalam kandungannya.
Suamiku beranjak, kupikir dia akan membantuku membawa Widia. Rupanya dia meminta supir untuk mengangkat Widia ke mobil.
"Ayo Yah," ajak ku.
"Bunda saja!"
Kutarik tangan suamiku masuk ke dalam mobil. Dan dia terpaksa menurut, walau hatinya kesal.
Tak berselang lama, kami sampai di rumah sakit. Widia masih belum sadar. Dan digiring beberapa suster.
Dokter segera menangani Widia. Sementara aku dan suamiku duduk di ruang tunggu. Sungguh lama sekali sampai akhirnya Widia sadar.
Dokter itu keluar dari ruangan. Dan menghampiri kami.
"Pihak kelurga Ibuk Widia?" tanya dokter itu.
"Kami majikannya Dok," ucap suamiku. Sementara aku langsung menoleh kearahnya.
"Kalau begitu, hubungi suami pasien," ucap Dokter itu lagi.
"Dia tidak punya suami, Dok!" Ternyata suamiku ini mulutnya pedas juga.
Aku melihat sang Dokter mengernyitkan dahi, mungkin ia berfikir. Tidak punya suami tapi hamil.
"Pasien saat ini harus menjalani operasi Caesar karena kelahiran prematur, dan posisi bayi sungsang," ucap dokter.
"Prematur?" Aku tak heran sih.
"Usia kandungan pasien, masih 26 Minggu," ucap dokter menjelaskan pertanyaanku.
"26 Minggu?" Suamiku berteriak syok dan tersenyum sinis.
Aku menyikutnya.
Selanjutnya, Dokter menjelaskan beberapa penyebab kandungan Widia menjadi kelahiran prematur, ada beberapa faktor yang mengejutkan, saat aku mengetahui bahwa Widia selalu memakai korset. Namun yang di pakai nya bukan korset Ibu Hamil. Entah untuk tujuan menutupi kebesaran perutnya. Atau untuk memopang perutnya saat beraktivitas, aku tidak tau.
Dokter kembali menjelaskan, bahwa Widia mengalami stres berat. Ohh tuhan ... Karna akukah? Seketika aku jadi merasa bersalah.
***
Persalinan berlangsung lama, Widia melahirkan seorang anak laki-laki yang begitu kecil. Dokter segera membawa bayi mungil itu keruang inkubator, aku melihatnya dari luar kaca.
Betapa malangnya bayi itu, ia harus dibantu selang untuk dia bernafas. Sementara, jarum infus menancap pada tangan mungilnya. Belum lagi selang yang dimasukkan ke dalam mulutnya itu, Betapa malangnya dia. matanya masih terkatup, lemah sekali.
Ya tuhan. Ini salahku.
Tak terasa air mataku jatuh. Aku tidak tega melihat bayi merah itu, suamiku langsung memelukku dengan erat.
"Bunda nggak tega, Yah." Aku menangis dipelukan suamiku.
Suamiku terus memelukku dan mencium keningku. Sepertinya dia mengerti apa yang aku rasakan.
Suamiku membawaku kembali keruangan Widia. Ternyata Widia sudah sadar. Ia menangis tersedu-sedu.
"Kamu kenapa, Wid?" tanyaku menghampiri dia.
Dia menggelengkan kepalanya.
"Cerita ke saya," pintaku.
"Maafkan saya Buk."
Akhirnya ...
"Maaf kenapa, Wid?"
"Maaf karena saya membohongi Ibuk, dan Bapak," ucapnya masih menangis sesenggukan.
Kucoba tenangkan dia.
"Jadi, siapa Ayah dari bayi itu, Wid?" Suamiku penasaran, karena dia dijadikan tersangka.
"Pak, Bono. Pak!" ucap Widia masih disela tangisan.
"Sialan dia!" ucap suamiku marah besar.
"Ayah, tenang dulu." Aku mencoba menengahi suasana yang panas ini.
"Pak Bono, melakukan siasat buruk untuk meniduri saya, saat nyonya tidak di rumah.
Pak Bono, memaksa saya untuk meminum air yang sudah diberikan obat tidur olehnya.
Paginya setelah sadar, saya sudah ternoda." Widia menangis lagi.
Aku dan suamiku masih terus mendengarkan.
"Awalnya, semua di
Posting Komentar
Posting Komentar