Ketakutan Berlebih Membunuh Empati.

Dunia bergejolak. Wabah virus Corona merebak cepat ke berbagai belahan dunia. Update terbaru 88.227 pasien positif Corona di 64 negara. Sebanyak 3.006 orang dinyatakan meninggal dunia.

Benar-benar meresahkan. Seluruh pimpinan negara berlomba-lomba menyelamatkan hidup warganya. Menutup akses masuk dari berbagai jalur (darat, udara, air). Melarang masuk orang yang terindikasi membawa bibit virus yang berkode covid-19 ini.

Tidak perlulah dijabarkan bagaimana usaha ekstra negara. Pun saat kemarin memulangkan mahasiswa Indonesia dari kota pertama kali terdeteksi virus Corona, Wuhan. Sungguh patut diapresiasi.

Bergeser dari semua upaya negara. Kita lihat pula negara tetangga, Singapura yang lebih dulu terpapar virus Corona. Bahkan salah satu korbannya adalah TKW asal Indonesia. Gerak cepat mereka mengatasi virus Corona patut diacungi jempol.

Mengerahkan tentaranya untuk mengumpulkan masker yang kemudian dibagikan ke seluruh keluarga di Singapura secara gratis. Menganggap ilegal penjualan masker di atas harga normal.

Terlihat sepele, but that's the point. Saat mereka menindak tegas oknum yang menjual masker diatas harga standar, bagaimana dengan kita? Bukan berempati atas apa yang menimpa dua WNI di Depok yang positif Corona juga 70an tim medis yang berinteraksi langsung dengan pasien besar kemungkinan terpapar virus tersebut.

Kita malah sibuk menyelamatkan diri sendiri, dihantui ketakutan berlebih.

Mendadak jadi serakah pada makanan pokok dan berlomba-lomba mengumpulkan untuk diri dan keluarga. Menyetok berkotak-kotak masker dan ironisnya pedagang nakal menjual berkali-kali lipat masker dari harga normal. Mengambil kesempatan kaya mendadak dari momen meresahkan. Sungguh menyedihkan!.

Lihat, kita belum sampai di pintu Padang Mahsyar padahal. Tapi sudah lupa sosial empati, lupa bagaimana dengan nasib masyarakat bawah yang jangankan menyetok makanan juga masker, bahkan membeli sekilo beras saja sudah berpeluh keringat.

Negara yang baru saja dicabut dari status negara berkembang, bergeser satu tangga menjadi Negara Maju (katanya😅), tapi masih bermental primitif. Tidak berkelas dan tidak beradab rasanya.

Cukup sekedarnya memproteksi diri dan keluarga. Menjaga kebersihan. Membatasi interaksi di luar rumah dan memberi makanan sehat bergizi untuk anak-anak kita. Juga tidak lupa berdoa dijauhkan negeri ini dari ancaman mematikan virus serta apapun bentuknya yang membahayakan.

Jangan racuni anak-anak kita dengan sikap beringas diluar batas. Sungguh. Kita adalah cermin anak kita kelak. Sekarang berebut besok-besok anak cucu kita saling bunuh untuk sekedar bertahan hidup. Lalu apa bedanya dengan makhluk Allah yang tidak berakal itu?

أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَٱلْأَنْعَٰمِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
(Q.S. Al Furqon: 43-44)
Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter